Sunday, August 21, 2011

Judul : I Feel Bad About My NeckPenulis: Nora Ephron
Penerjemah: Anik Soemarni

Penerbit: Dastan Books


Usia adalah jejak waktu. Semakin bertambah usia, semakin banyak juga jejak waktu yang tertinggal pada tubuh kita. Rambut yang memutih karena uban, kulit yang berkerut dan banyak perubahan-perubahan fisikal lainnya.

Bagi sebagian besar manusia (khususnya kaum perempuan) yang notabene mengutamakan performa dan penampilan, jejak waktu ini adalah momok tersendiri yang cukup memusingkan. Itu sebabnya segala upaya untuk menghilangkan jejak tersebut selalu dilakukan.

Membubuhkan make up pada wajah adalah upaya menyembunyikan kerut penuaan di bagian bawah mata, pewarna rambut adalah upaya untuk menyamarkan uban, suntik kolagen, botox serta restylane sebagai upaya menghilangkan kerutan dan lipatan pada kulit wajah. Namun akhirnya segala upaya tersebut harus berhenti pada saat mereka harus berhadapan dengan leher.

Sang penulis buku ini, Nora Ephron secara berkelakar, jenaka, berani, jujur, segar dan menghibur berhasil menuliskan tentang betapa putus asanya kaum perempuan dalam menghadapi musuh dalam selimut bagi penampilan mereka ini yaitu leher.

“Oh, leher-leher ini. Ada yang seperti leher ayam. Ada yang seperti leher kalkun jantan. Ada yang seperti leher gajah. Ada leher dengan kerutan dan lipatan-lipatan yang akan menjadi kerutan nantinya. Ada leher kurus dan gemuk, leher lentur, leher berkerut, leher nerlipat, leher keriput, leher berserat, leher kendur, leher berlemak, leher bintik-bintik. Ada leher kombinasi yang menakjubkan dari semua jenis leher yang disebutkan di atas. Menurut dokter kulitku, leher akan mulai berubah bentuk pada saat kita berumur empat puluh tahun, dan berakhirlah sudah.”(hal.13).

Dengan gaya bahasa yang enteng, Nora mampu menuliskan pertanyaan retoris tentang apa yang tak bisa kita lakukan pada leher kita. Kita bisa mewarnai rambut, mengencangkan kulit wajah, menambah implan, atau melakukan sedot lemak. Tapi leher? Leher wanita tak bisa bohong. Tidak ada yang bisa kita lakukan pada leher kita.

Secara putus asa namun penuh dengan kejenakaan, Nora mengeluhkan sang leher yang tak bisa dinamipulasi. “Leher-leher kita bicara jujur. Kita harus membelah pohon redwood untuk melihat seberapa tuanya ia, namun kita tidak perlu melakukan itu jika pohon tersebut punya leher,” begitu ditulisnya pada halaman 14 buku ini dengan simbolisasi yang kocak.

Untuk menelanjangi habis-habisan mengenai masalah leher tersebut, Nora tak enggan untuk berbagi temuannya yang mengundang geli. Misalnya temuannya untuk membuat kita merasa tertekan dengan kondisi leher kita.

“…duduklah di kursi belakang mobil, tepat di belakang sopir, dan lihat dirimu di kaca spion dalam mobil. Ada apa dengan kaca-kaca itu? Aku sendiri tidak tahu, namun tak ada cermin lain yang lebih buruk yang bisa menunjukkan bentuk leher kita yang begitu memprihatinkan. Ini salah satu misteri kehidupan modern, sama seperti mengapa air dingin di kamar mandi lebih dingin dibandingkan dengan air dingin yang ada di dapur.”(hal.16).

Meskipun mengungkapkan tentang ketidakberdayaan dan keputusasaan namun tulisan dalam buku ini benar-benar membuktikan bahwa Nora adalah penulis yang sangat berbakat. Dia tak hanya mengeksplorasi kejujuran semata tapi mampu menampilkan temuan-temuan sederhana yang membuat tulisannya menjadi unik dan sangat menarik.

Memberdayakan keluguan yang menghibur dan menyulap hal-hal sepele menjadi sangat berarti. Tak hanya berhenti pada masalah leher, buku ini juga mampu mengungkap musuh-musuh dalam selimut perempuan yang lainnya seperti masalah tas perempuan yang kerap menjadi gudang tenteng, perawatan kuku yang konyol, rambut dan bulu kulit yang menyita kesibukan, masalah memasak, masalah kaca mata baca dan terakhir adalah masalah serius mengenai tahapan-tahapan menjadi orang tua.

Kepiawaian Nora sebagai sutradara, produser, penulis skenario film, serta novelis yang berhasil menelurkan karya-karya seperti “You’ve Got Mail”, “Sleepless in Seattle”, dan juga “When Harry Met Sally” benar-benar tercermin pada tulisan di buku ini yang akhirnya mampu membuat kita terhipnotis dan mengakui kecerdasannya yang memang pantas diacungi dua jempol. (*)


No comments:

Post a Comment